Wow... dimensia? Itu loh, penurunan fungsi otak. Fenomena sekarang adalah orang gak bisa lepas dari gadget, dimanapun, kapanpun, gadget adalah benda pertama yg diingat orang, bahkan saat bangun tidurpun. Gak cuma orang dewasa, remaja, bahkan anak2 SD maupun TK pun udh keranjingan gadget. Usia remaja konon adalah kelompok usia pemerhati perkembangan gadget, sekaligus pengguna gadget teranyar dgn fitur2 yang lengkap, dimana harganya pun tak jarang melambung tinggi. Penggunaannya pun berlebihan, karena tak jarang mereka menghabiskan waktu berjam2 utk mengutak atik gadgetnya (laptop, tablet, smartphone). Mereka gak begitu tertarik lagi menonton tv, karena informasi yg didapat lewat internet ternyata lebih up to date. Keranjingan gadget inilah yg bisa menyebabkan remaja bisa terserang dimensia, dimana usia mereka muda tapi jadi pelupa bahkan bodoh.
Selain itu, gadget juga membuat penggunanya malas berpikir. Contact di phonebook dengan mudahnya dibuka tanpa perlu repot2 menghapal nomernya. Memang sih, gadget diciptakan utk mempermudah, tapi akhirnya jadi muncul pola pikir yg semuanya mau serba mudah & cepat. Bukan gak mungkin kan, kebiasaan malas berpikir & mengingat ini bikin daya kritis otak manusia jadi menumpul, karena semakin orang fokus pada satu hal yaitu gadget, mengurangi fokus pada hal2 lain loh. Celakanya, remaja sekarang yg melek internet seakan gak bisa lepas dari gadget2 canggih mereka, bahkan tak segan mereka meminta gadget yg harganya terbilang mahal & belum sesuai utk usianya. Fenomena ini juga diperparah dengan kondisi orang tua yg semakin sibuk sehingga tak sempat memperhatikan anaknya, mereka hanya membekali anak2 dengan perangkat gadget berikut akses internet tanpa batas yg bisa mereka akses dimanapun & kapanpun. Mungkin para ortu modern ini berpikir, itu adalah bentuk dukungan & kasih sayang mereka ke anak, sebagai kompensasi hilangnya waktu keluarga yg berkualitas akibat kesibukan masing2, sehingga gak jarang didapati bahwa si anak asyik sendiri di depan laptop/tablet/smartphone mereka tanpa peduli ortunya ada atau tidak di rumah.
Selain itu, gadget2 canggih & mahal tadi dijadikan alat ukur kemampuan & kesuksesan ortu mereka dimata temen2 sekolahnya, bahkan anak2 tadi menganggap ortunya kudet banget kalo gak membelikan mereka smartphone keluaran terbaru. Itulah yg bikin aku suka sebel ngeliat sekolah2 mahal ini, akhirnya membuat pola anak2 borjuis yg dimanjakan dengan barang2 mahal pemberian ortunya. Sadar atau tidak sadar, kecenderungan pamer pun dialami oleh sebagian besar remaja Indonesia, bangga rasanya kalo pake barang2 mahal bahkan yg bisa bikin ngiri temen2 sekolahnya (kacau gak sih??). Belum lagi aktifitas mereka di media sosial, membuat mereka lupa fungsi utamanya sebagai pelajar. Mereka asyik dengan dunianya sendiri, bangga rasanya bisa jadi remaja yg serba tau untuk urusan fashion, musik, film, perkembangan gadget, aplikasi2 terbaru dll. Bahkan beberapa ada yg berani "bohong" tentang keadaan dirinya hanya agar diakui & dikagumi temen2 di komunitasnya yg mungkin berada jauuuuuhh nun entah dimana, sehingga kebenaran pun susah dibuktikan. Prinsipnya, yg penting gua keren, gua eksis, gaul n serba tau, padahal kondisi sebenarnya kadang2 gak gitu2 banget !
Walo aku belum jadi ortu, rasanya miris aja liat fenomena begini, kok tega yah ortu membiarkan perkembangan diri anaknya menjadi remaja yang diperbudak teknologi. Apa2 diukur dengan gadget, klo gak punya gadget terbaru rasanya kok kudet gitu. Akhirnya membentuk kepribadian yg anti sosial, malas mencoba hal2 baru diluar kegiatan sekolahnya, karena udh terlena dengan semua aktifitas di depan layar laptop atau smartphone mereka. Dan ortunya pun membiarkan seolah2 merasa "tenang" karena si anak gak akan merengek2 minta diajak jalan2, toh mereka udh asyik dengan mainannya masing2. Akhirnya, biarpun ortu & anak2 berkumpul bersama, tapi perhatian masing2 hanya tertuju pada layar gadget didepannya. Sungguh gambaran keluarga modern zaman sekarang, masing2 asyik dengan gadgetnya. Para ortu mungkin kurang menyadari, waktu gak bisa diputar kembali, mereka akan menyesal saat sadar anak2 mereka yg lucu tadi tak lagi membutuhkan kehadiran fisik orang tuanya karena peran ortu sdh digantikan oleh kehadiran teknologi, dan saat kesadaran itu muncul, anak2 pun sudah menjelma menjadi manusia dewasa yg egois & menggampangkan semua hal, serta tak butuh banyak berinteraksi langsung dengan orang tuanya sendiri.